Luk 11: 43-46
Seorang rekan kerja menceritakan pengalaman dan pandangan pribadinya
tentang perilaku seorang pastor kepala yang bertugas di parokinya. Menurut
rekan kerja saya, sang pastor paroki belum menunjukkan jati dirinya sebagai
seorang gembala yang baik. Ia sering membuat pressure agar umat tidak boleh lupa akan kewajibannya untuk
membayar iuran paroki. Ia juga tanpa malu-malu selalu mendorong umat untuk
menyumbang secara pribadi atau pun kelompok. Alasan klasiknya demi pembangunan
gereja dan pengembangan iman umat. Bahkan mimbar gereja dipakai oleh beliau
untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Di satu sisi, umat tidak keberatan
untuk menunaikan segala kewajiban atau pun menyumbang secara sukarela. Justru
umat dengan kesadaran dan kemauan yang tinggi mau memberikan apa yang mereka
miliki.
Namun di sisi lain, umat sangat kecewa dengan segala kebijakan dan perilaku
pribadi pastor paroki yang dinilai sepihak dan tidak adil. Mulai dari laporan
keuangan yang dinilai tidak wajar dan tidak transparan sampai mengerucut pada
indikasi penyalagunaan keuangan milik paroki. Belum lagi ditambah dengan sikap
pribadi sang pastor yang tidak populis dan diskriminatif. Ia hanya membangun
dan mementingkan relasi sosial dengan orang-orang tertentu. Ia juga belum mampu
merangkul semua umat. Bahkan karena sikapnya demikian, membuat umat terpecah
dalam kelompok-kelompok. Bagi saya, ini hanya cerita sepihak dan belum tentu
benar. Tetapi seandainya ada kebenaran yang terkuak dan menguatkan sharing
pengalaman di atas, tentu hal ini sangat miris dan patut disayangkan.
Kalau kita menyimak dengan seksama bacaan Injil (Luk 11:43-46) yang baru
saja diperdengarkan, kita pasti akan menarik kesimpulan bahwa Yesus dengan
sangat keras mengecam perilaku orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Yesus mengecam
mereka karena mereka gagal dalam mendengar sabda Tuhan dan melakukannya. Mereka
juga keliru membimbing umat dan tidak memperlihatkan keteladanan yang baik
untuk bisa ditiru dan diikuti. Tiga kecaman pertama dari Yesus ditujukan kepada
orang-orang Farisi. Yang pertama, terkait dengan persembahan Tuhan. Orang-orang
Farisi bisa memenuhi kewajiban dan aturan agamanya dengan membayar persepuluhan
dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran. Namun mereka gagal memperlihatkan
hakikat dari persembahan itu yakni keadilan dan kasih Allah. Tujuan dari
persepuluhan adalah sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Tetapi orang Farisi
sudah salah menafsirkannya sehingga orang merasa bukannya bersyukur melainkan
sebuah pemerasan yang dirasakan. Dengan memiliki otoritas sebagai pejabat
agama, tidak sulit bagi mereka untuk mempressure
umat untuk memberi. Umat pasti mengikuti karena takut dicap sebagai
pembangkang atau pembelot. Nilai sebuah persembahan sudah dikotori dengan niat
busuk dari para pemimpin agama untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok.
Kedua, orang-orang Farisi ini senang dan bernafsu untuk mencari pamor atau
prestise diri. Oleh karena itu mereka suka duduk di tempat terdepan di rumah
ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar. Karena merasa diri memiliki
status dan jabatan mentereng, mereka menjadi sombong. Mereka merasa diri sangat
pantas untuk menerima penghormatan dan penghargaan khusus di area-area publik.
Kecenderungan sikap ini yang berseberangan dengan kehendak Allah agar setiap
orang bisa menunjukkan sikap rendah hati, bertindak adil dan penuh kasih bagi
semua orang tanpa tanpa sekat-sekat. Dan arogansi mereka ini, secara sosial
memantik sikap antipati dari umat. Ketiga, Yesus mengecam tindakan munafik yang
diperlihatkan oleh orang-orang Farisi. Pribadi mereka ibarat kubur yang dari
luarnya tampak indah memesona. Tetapi di sebelah dalamnya penuh kotoran dan
tulang belulang. Mereka menampilkan diri seolah-olah bersih dan suci tanpa
celah. Namun hati mereka jauh dari Allah. Hati mereka dipenuhi oleh segala niat
busuk untuk memenuhi segala kepentingan duniawi.
Selain kepada orang-orang Farisi, Yesus juga mengecam para ahli taurat.
Mereka suka meletakkan beban-beban yang tak terpikul kepada orang, tetapi
mereka sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jari pun. Setali tiga uang
dengan orang Farisi. Para ahli taurat hanya mencari kenikmatan dan keuntungan
pribadi dengan mengorbankan orang lain. Mereka sebenarnya adalah golongan para
alim ulama yang sangat paham dengan isi kitab suci. Tetapi mereka menutup mata
dan batin mereka untuk bertindak melampaui kehendak Allah.
Hari ini Yesus memberi pembelajaran kepada kita sebagai umat beriman agar
kita selalu memberi prioritas kepada nilai kasih dan keadilan dalam hidup.
Untuk menggapai level ini ada tiga hal yang harus kita ikuti. Pertama, sikap
tulus dalam memberikan persembahan atau sumbangan dalam bentuk apa saja.
Memberi persembahan (sumbangan) merupakan bagian integral dari seluruh
penampilan pribadi kita. Oleh sebab itu, jangan mengotori setiap persembahan
atau pemberian yang kita lakukan dengan niat yang tidak baik. Satu sikap
destruktif yang bisa merusak totalitas persembahan adalah sikap makan riba.
Atau sikap mengambil untung dari setiap pemberian yang kita lakukan. Sikap
makan riba lebih dari sekedar mengambil keuntungan secara ekonomi. “Saya
memberi supaya bisa diberi juga”. Bisa juga berarti “saya memberi supaya
dikenal sebagai orang baik”. “Saya memberi supaya diakui sebagai orang yang
memiliki sesuatu”, atau saya memberi supaya bisa menceritakan dengan bangga
kepada orang lain.” Untuk sampai pada sikap tulus, niat-niat terselubung dan
sesat demikian harus kita hindari.
Kedua, selalu menunjukkan sikap rendah hati. Keutamaan ini akan menjauhi
diri kita dari sikap sombong dengan suka mencari kehormatan atau popularitas
diri. Sikap sombong pasti akan memberi batasan dalam lingkup pergaulan sosial
kita. Hanya orang atau kelompok tertentu yang menjadi tujuan pertemanan atau
persahabatan kita. Sejauh itu memberi keuntungan tertentu juga kepada kita.
Kita harus membebaskan diri dari sikap sombong agar kita bisa masuk dalam diri
sesama dari berbagai segmen (kalangan) untuk membawa wajah kasih Allah kepada
mereka. Ketiga, menjauhi sikap munafik. Kita harus menampilkan diri sebagaimana
adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Jangan membuat
kepalsuan dalam segala tampilan tutur kata dan perbuatan yang dapat
menghancurkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Akhirnya, mari kita memberi
diri kepada nilai kasih dan keadilan agar wajah Kerajaan Allah sungguh
menampakan diri-Nya di muka bumi. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***