Rabu, 23 Maret 2022

Melakukan Takaran Tuhan

Luk 6:36-38

 

Menjadi orang baik atau jahat itu sebuah pilihan dalam hidup. Orang bisa menggunakan segala daya, kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk bisa menjadi baik atau jahat. Para orang kudus dalam Gereja Katolik, misalnya, dapat dikategorikan sebagai pribadi-pribadi baik yang memanfaatkan kemampuan, potensi, anugerah yang dimiliki untuk memberi banyak kebaikan dan kemaslahatan bagi banyak orang. Mereka tidak sekedar menjadi orang baik, tetapi orang suci atau kudus karena semangat pelayanan atau dedikasi. Entah kepada kepada Tuhan yang mereka sembah, maupun kepada sesama sebagai sahabat sepeziarahan di dunia. Di samping para orang baik tersebut, Kita mengenal juga beberapa tokoh dunia yang terkenal karena kejahatan. Sebut saja misalnya Adolf Hitler, Joseph Stalin, Raja Belgia Leopold II, raja Ivan IV dari Rusia (Liputan6.com/17 April 2018) dan masih banyak yang lainnya.

Menarik dalam bacaan Injil singkat pada hari ini (Luk 6:36-38), Yesus membeberkan beberapa perilaku yang diklasifikasikan sebagai ukuran atau takaran yang baik. Setidaknya ada lima sikap positif yang terlihat di sana. Sikap murah hati, tidak boleh menghakimi, tidak boleh menghukum, mengampuni orang, dan suka memberi. Menurut Yesus, hendaklah semua orang harus menunjukkan sikap murah hati sama seperti Bapa yang di sorga juga murah hati. Sikap murah hati tidak hanya ditunjukkan secara fisik atau materiil, dengan memberikan uang atau barang tertentu. Level sikap murah hati yang paling tinggi adalah bagaimana manusia menjadikan pribadinya sebagai pribadi yang mampu membawa kedamaian, kenyamanan, dan keselamatan bagi semua orang. Ketika muncul “suasana yang gelap”, timbul pertentangan, konflik dan permusuhan dalam masyarakat, orang yang murah hati dapat tampil untuk menjadi penengah atau mediator yang baik. Ia mampu membawa terang yang menguatkan dan meneguhkan bagi orang-orang di sekelilingnya.

Kemudian ada sikap untuk tidak boleh menghakimi. Karena yang berhak menjadi hakim dan memberi penghakiman adalah Tuhan yang kita sembah (Dalam ranah hukum positif, para hakim dapat dianggap sebagai pengejawantaan Tuhan di muka bumi. Memang pantas demikian, karena mereka diberi mandat, kewajiban dan wewenang oleh hukum untuk menjaga keteraturan, ketertiban, dan keamanan di atas dunia). Orang dapat  jatuh ke dalam penghakiman manakala ia melihat ada hal minus atau negatif yang ditunjukkan sesamanya. Salah satu ciri dasar manusia adalah suka menghakimi. Penghakiman itu datang dengan mudah, menembus ruang dan waktu karena orang gampang menaruh prasangka dan curiga. Sesuatu yang belum tentu benar selalu dilihat dari kaca mata yang salah. Bisa juga membenarkan sesuatu yang salah, sehingga nilai kebenaran menjadi kabur. Orang yang suka menghakimi orang lain cenderung merasa diri paling benar, paling hebat dan superior. 

Selanjutnya ada sikap memberi hukuman. Orang yang memberi hukuman kepada orang lain biasanya memiliki keistimewaan dalam hal tertentu. Misalnya ia memiliki legalitas dalam bidang hukum. Atau mendapat legitimasi dari masyarakat di wilayah tertentu karena dipandang sebagai tokoh panutan. Saya pikir, dalam konteks hukum dan struktur sosial-budaya, sah-sah saja hukuman itu diberlakukan bagi orang yang telah bersalah. Demi kepentingan perbaikan diri dan tercapainya iklim hidup bersama yang kondusif, hakikat hukuman atau sanksi bagi orang yang bersalah perlu ditegakkan. Yang menjadi tidak benar adalah orang menggunakan hukum, peraturan, dan norma untuk menindas atau memperlakukan orang lain secara tidak adil. Hukum dan peraturan diperalat sebagai tameng untuk membenarkan dirinya. Bisa juga untuk mendapatkan keuntungan, akses atau kemudahan dalam pelbagai hal.

Yang berikut tentang sikap mengampuni. Menurut saya, ini bentuk sikap yang paling sulit untuk diterapkan dalam praksis hidup sehari-hari. Orang memang gampang untuk mengucapkannya, namun paling sulit berbuat demikian. Apalagi memberi pengampunan kepada orang yang jelas-jelas telah berbuat salah. Ini pekerjaan maha sulit. Namun Yesus menandaskan bahwa kita harus mengampuni orang lain agar kita juga bisa mendapat pengampunan dari Tuhan. Kalau kita tidak memberi ampunan kepada sesama, maka jelas kita juga tidak mendapat ampunan dari-Nya. Selain memberi ampun kepada orang lain, satu aspek penting yang mestinya kita lakukan adalah memohon maaf atau meminta ampun atas kesalahan yang telah kita perbuat. Jarang sekalih orang mampu mengoreksi diri dan menyatakan dirinya bersalah di hadapan orang lain. Yang sering terjadi adalah orang suka memamerkan sikap resisten, tidak mau mengalah dan selalu merasa diri paling benar.

Dan terakhir adalah sikap memberi. Kita memberi bukan dengan harapan untuk mendapatkan balasan. Kita memberi karena itulah ciri dasar hidup iman kita. Karena Tuhan sudah memberi berbagai hal dengan cuma-cuma kepada kita, maka sudah sepantasnya kita membagi-bagikan apa yang kita miliki dengan ikhlas atau tanpa pamrih. Sebagai manusia, acapkali kita jatuh dalam prinsip do ut des. Saya memberi supaya diberi. Tidak ada yang gratis dari pemberian kita. Kita perlu menata diri untuk hidup lebih benar dalam iman kita. Dan salah satunya adalah dengan memberi tanpa mengharapkan balasan dari orang lain. Yesus sudah mengatakan bahwa jikalau kita memberi dengan ikhlas pasti kita akan mendapatkan balasannya. “Berilah dan kamu akan diberi” (Luk 6:38). Kita tidak pernah tahu wujud balasan yang Tuhan janjikan. Tetapi yang pasti, balasan itu pasti adalah balasan yang setimpal dan baik adanya. Oleh karena itu, jangan pernah mengharapkan apa pun dari sesuatu yang kita berikan.


Lima sikap dasar positif ini, yakni murah hati, tidak menghakimi, tidak menghukum, selalu mengampuni, dan suka memberi menjadi ukuran atau takaran yang baik bagi kita dalam rangka memoles pribadi yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Marilah di awal pekan masa prapaskah yang kedua ini, kita selalu membuka diri kepada Tuhan untuk menimba kekuatan dari-Nya agar kita mampu mewujudkan lima sikap positif yang telah dinyatakan Tuhan dalam firman-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

Senin, 21 Maret 2022

Mengasihi Allah Dalam Diri Sesama

Mat 25:31-46

 

Hidup ini adalah sebuah anugerah. Tuhan melengkapinya dengan pelbagai karunia yang harus dikembangkan agar mencapai hasil yang maksimal. Tugas manusia adalah menata dan mengelola dengan baik dan benar semua yang telah dipercayakan Tuhan kepadanya, agar hidup ini tidak sia-sia, melainkan bermakna. Sikap dan cara ini sekaligus menjadi satu bentuk nyata pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan, Sang Pemilik semesta dan Pemberi segala anugerah. Hidup ini memang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Lalu, bagaimana seharusnya bentuk nyata pertanggungjawaban itu? (Berjalan Bersama Sang Sabda, 2022, hal.91).

Dalam bacaan Injil (Mat 25:31-46), dengan terang benderang Yesus membentangkan suatu kenyataan yang akan dialami manusia pasca hidup di dunia fana ini. Manusia akan datang dan mengalami suatu pengalaman ilahi yakni bertemu dengan Tuhan, Sang Pencipta-Nya. Pada saat yang krusial tersebut, nasib terakhir bagi manusia untuk mengalami keselamatan atau tidak segera ditentukan. Tuhan Yang boleh mendapat keselamatan dikategorikan dalam kelompok domba. Sebaliknya, yang tidak mendapat keselamatan diklasifikasikan ke dalam kelompok kambing.

Menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Yesus. Bahwa hak memperoleh keselamatan atau tidak sebenarnya ditentukan oleh hidup manusia sendiri tatkala ia masih berada di atas dunia. Hidup itu ibarat menggarap sebuah ladang. Apabila manusia menanam benih padi, maka pada saatnya ia akan memanen bulir padi yang berlimpah. Namun, apabila ia menabur biji ilalang, maka pada gilirannya ia akan menuai ilalang. Ungkapan simbolik di atas mau menandaskan keselamatan itu tidak otomatis didapatkan manusia. Keselamatan itu harus diperjuangkan. Bagaimana memperjuangkannya?

Tentu dengan melakukan banyak hal yang positif. Dan hal yang positif itu selaras dengan kehendak Tuhan sendiri. Secara eksplisit Yesus menggambarkan hal-hal praktis yang bisa dilakukan manusia dalam hidupnya. “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat (25:35-36). Kemudian Yesus mengunci kata-kata-Nya ini dengan berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).

Aku yang dimaksud oleh Yesus adalah pengejawantaan Diri-Nya atau Diri Allah dalam setiap diri manusia yang lemah, sakit, tersingkir, atau terabaikan. Suatu kenyataan atau realitas yang jamak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak perlu mencari mereka sampai ke ujung dunia. Karena mereka begitu dekat dan tampak jelas di dalam kehidupan kita. Menjadi soal apabila kita tidak melihat mereka sebagai representasi Allah sendiri. Lebih parah lagi, kita seakan tidak peduli, bahkan dengan sadar semakin memojokkan mereka dari kehidupan sosial.

Hari ini Yesus mau mengatakan dua hal kepada kita. Pertama, Ia dan Bapa-Nya sungguh hadir secara nyata dalam rupa para sesama yang sedang mengalami sakit, kesusahan, kesulitan, dan penderitaan. Kedua, garansi keselamatan bagi kita sebagai orang beriman adalah tatkala kita membuahi iman akan Dia dengan menunjukkan perhatian dan kepeduliaan bagi semua orang. Terutama bagi mereka yang dikategorikan sebagai orang kecil. lemah, dan tidak berdaya. Memang sangat simpel apa yang digariskan oleh Yesus. Namun, acapkali terasa sulit dan jarang kita lakukan.


Kini, kita telah memasuki masa prapaskah pekan pertama. Sungguh menjadi sebuah moment yang berahmat bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Dia yang kita imani dalam hidup. Tidak hanya melalui doa, derma dan puasa. Namun lebih dari itu, kita sungguh mengasah diri kita untuk lebih peduli dengan orang-orang yang sedang mengalami sakit, kesulitan, dan penderitaan dalam hidupnya. Karena mereka sebenarya rupa Allah sendiri yang sementara meminta belaskasihan. Mari kita semakin menata hidup secara lebih baik dengan menjadi orang yang sungguh-sungguh Katolik di masa prapaskah ini Semoga