Senin, 21 Februari 2022

Menjaga Kehalalan Diri

 Mrk 7:14-23

 

Pernah suatu saat, saya diberi beberapa buah mangga yang hampir masak. Dari kulit luar tampak warna merah kekuning-kuningan. Saya sangat yakin buah ini sangat gurih dan nikmat. Ketika sampai di rumah, saya buru-buru mengupas buah mangga itu. Tanpa berpikir panjang saya langsung melahap satu irisan yang cukup besar. Tak disangka, rasanya sangat asam. Gigi saya terasa ngilu, rasanya mau copot; akibat efek dari buah mangga yang asam. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, ini buah makan jenis apa. Dari kulit luar kelihatan sangat menarik. Tetapi isi dalamnya, sangat mengecewakan. Ternyata setelah saya mendengar informasi dari orang yang cukup ahli dalam dunia buah-buahan, memang ada jenis mangga tertentu yang tampak sudah masak dari kulit luar. Padahal sebenarnya, isinya belum masak. Butuh waktu yang cukup agar buah mangga itu benar-benar masak saat dipetik dari pohonnya.

 

Ilustrasi sederhana tentang buah mangga di atas, mengingatkan saya akan teks Injil pada hari ini (Mrk 7:14-23). Yesus mengkritik perilaku orang-orang, terutama para elit agama, yang memainkan kesalehen palsu dalam hidup. Dari tampang kelihatan kudus, tetapi hati mereka penuh kebusukan. Mereka sangat mengutamakan hal-hal lahiriah seperti kewajiban melakukan ritus dan tradisi serta menjauhi segala larangan atau pantangan. Misalnya kewajiban untuk menaati prosedur ketika hendak makan. Atau sampai kepada larangan untuk makan makanan tertentu yang najis (tidak halal). Namun mereka tidak memiliki hati yang bersih untuk sungguh-sungguh melaksanakan kehendak Allah. Secara fisik, kelihatan mereka sangat dekat dengan Allah, padahal hati mereka sangat jauh dari Allah.

 

Yesus sebenarnya tidak mempermasahkan segala aturan yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan dalam agama. Kewajiban dan larangan yang tertulis dalam Kitab Suci dan tradisi itu baik adanya. Kehadiran dan pemberlakuannya sebagai sarana untuk mendekatkan relasi antara manusia dengan Tuhan. Namun, fakta yang terjadi sangat kontras. Orang-orang, terkhusus para elit agama kala itu, gagal menimba spirit yang paling fundamental dari segala aturan dan tradisi tersebut. Pelaksanaan kewajiban dan larangan dalam agama harus diseimbangkan dengan implementasi nilai-nilai kemanusiaan yang memanusiakan manusia. Nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang muncul dari dalam hati, itulah yang harus diperjuangkan dan dimenangkan dalam hidup. Bukan fokus pada pelaksanaan segala aturan dan kewajiban agama semata.

 

Secara eksplisit Yesus mengatakan: “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mr 7:14). Sekilas kita memahami bahwa Yesus melegalkan segala jenis makanan yang dimakan oleh umat saat itu. Namun pada prinsipnya, Yesus tidak melarang hal itu. Hukum, aturan, dan tradisi tetap berjalan sesuai dengan porsinya. Dan orang-orang wajib untuk menaatinya. Yang menjadi problem nyata adalah membiasnya sikap palsu dalam hidup keagamaan. Karena dari dalam hati tetap timbul hal-hal yang destruktif. Kitab suci mencatat, hal-hal yang destruktif terekspose dalam pikiran yang jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, dan kekebalan.

 

Menurut Yesus, sejatinya hal-hal destruktif demikian yang seharusnya dikategorikan ke dalam sikap dan perbuatan yang najis. Karena tanpa atau dengan sengaja, orang-orang telah membiarkan dirinya untuk berseberangan dengan kehendak Allah sendiri. Dengan kata lain, orang-orang telah menajiskan dirinya dengan perbuatan yang tidak benar di hadapan Allah. Jikalau benar orang-orang telah mencemarkan atau menajiskan dirinya dengan hal-hal yang tidak baik dan benar, apa untungnya mereka mengikuti bahkan turut mengkampanyekan ritus-ritus lahiriah yang tertulis rapih dalam kitab suci dan tradisi suci? Tidak mengherankan, mereka ingin mencari keuntungan, entah secara pribadi atau kelompok. Mereka ingin dilabeli sebagal orang-orang suci. Mereka ingin mendapatkan keuntungan secara sosial dan politik. Bahkan juga mendapat keuntungan secara ekonomi. Kalkulasinya jelas. Mereka akan mendapat simpati publik, disegani, dihormati, diberi kekayaan, dan prestise atau pamor diri di muka publik akan terdongrak.


Hari ini, kita semua diingatkan oleh Yesus akan dua hal. Pertama, penting bagi kita semua untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan pada ritus dan tradisi keagamaan di satu sisi, dan ketaatan untuk mengamalkan kasih dan kebenaran Allah di lain pihak. Sebagai orang Katolik, kita tetap memenuhi kewajiban agama untuk pergi ke gereja pada hari Minggu, berdoa secara pribadi di rumah, atau berdoa secara kolektif di KBG atau lingkungan.

Aspek ini akan mendapat kepenuhannya apabila kita sungguh-sungguh menjaga hati dan pikiran untuk tetap berpikir dan melaksanakan hal-hal yang positif sesuai dengan kehendak Allah. Kedua, hal prinsip yang ditegaskan oleh Yesus adalah soal najis atau haram. Bahwa yang membuat seseorang itu terperosok menjadi pribadi najis atau haram itu bukan terletak pada soal makanan atau minuman yang masuk dalam tubuh, melainkan terdeteksi melalui pikiran dan perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Mari kita senantiasa menjaga kehalalan diri kita dengan berpikir dan berbuat yang baik dan benar, sesuai dengan kehendak Allah sendiri.

Minggu, 13 Februari 2022

Menjadi Tanda Yang Baik

                                                               Mrk 8:11-13

 

Hari ini kita memperingati dua orang bersaudara yang menjadi orang kudus dalam gereja Katolik. Mereka berdua adalah Santo Sirilus dan Santo Metodius. Sirilus dan Metodius berasal dari Tesalonika, Yunani. Metodius dilahirkan pada tahun 815 dan Sirilus dilahirkan pada tahun 827. Keduanya menjadi imam dan memiliki keinginan kudus yang sama untuk mewartakan iman kristiani. Mereka menjadi misionaris untuk bangsa-bangsa Slavia seperti Moravia, Bohemia, dan Bulgaria. Pada tahun 862, hanya tujuh tahun sebelum kematian St. Sirilus, pangeran Moravia memohon agar para misionaris diutus ke negaranya untuk mewartakan kabar gembira Yesus dan gereja-Nya. pangeran menambahkan satu permohonan lagi yaitu para misionaris tersebut hendaknya berbicara dalam bahasa setempat.

Kedua bersaudara, Sirilus dan Metodius, menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan dan diterima. Mereka tahu bahwa mereka akan diminta untuk meninggalkan negeri, bahasa serta kebudayaan mereka demi cinta kepada Yesus. Mereka melakukannya dengan sukacita. Sirilus dan Metodius menciptakan abjad Slavia. Mereka menerjemahkan Kitab Suci dan liturgi Gereja ke dalam bahasa Slavia. Oleh karena jasa mereka, rakyat dapat menerima ajaran kristiani dalam bahasa mereka sendiri. Pada tanggal 31 Desember 1980, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Santo Sirilus dan Santo Metodius sebagai pelindung Eropa bersama dengan Santo Benediktus.

Perjuangan dan dedikasi yang mulia dari Santo Sirilus dan Metodius untuk menjadi tanda Kerajaan Allah bagi bangsa Slavia ternyata tidak berjalan mulus. Mereka harus menghadapi pelbagai kritik, kecaman dan perlawanan dari orang-orang Slavia sendiri. Pengalaman nyata yang tidak mengenakan yang dialami oleh Sirilus dan Metodius sejatinya sudah dialami oleh Sang Guru Ilahi mereka yakni Yesus Kristus. Dalam perjalanan sejarahnya di tanah Israel, Yesus sudah memberi banyak tanda yang jelas mengenai siapa Diri-Nya kepada segenap umat Israel. Melalui kata-kata dan perbuatan-Nya yang ajaib, Yesus secara berulangkali menegaskan identitas Diri-Nya kepada mereka (umat Israel). Namun seiring dengan semakin banyak hal menakjubkan yang dibuat-Nya, semakin membuat para lawan-Nya menjadi bingung dan heran. Sikap bingung dan heran ini yang memicu rasa antipati dan sentimen kepada Yesus.

Dengan maksud untuk mencobai Yesus dan mencari titik kesalahan-Nya. para lawan Yesus yang kali ini diwakili oleh orang-orang Farisi meminta sebuah tanda dari Sorga. Tanda dari sorga ini sebagai representasi yang menyatakan keilahian Yesus. Penginjil Markus mencatat bahwa Yesus tidak menjawab apa-apa kepada lawan bicara-Nya. Yesus hanya mengeluh dalam hati-Nya. Kemudian Ia berkata kepada para murid-Nya: “Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.” Yesus mengungkapkan kekecewaan yang mendalam atas sikap gagal paham yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang meminta tanda dari-Nya tentang kuasa yang Ia miliki. Sementara hampir setiap waktu mereka menyaksikan dengan terang benderang peran keilahian Yesus dalam setiap kata-kata dan perbuatan-Nya.

Pada akhirnya, Yesus mengetahui bahwa orang-orang yang meminta tanda dari-Nya, tidak hanya gagal paham namun hati mereka telah menjadi batu alias tidak mau menaruh sikap percaya kepada Diri-Nya. Ketidakpercayaan inilah yang menggiring mereka untuk selalu mencari-cari kesalahan-Nya. Mereka merasa sangat terganggu dan terancam dengan kehadiran Yesus. Karena kehadiran Yesus menciptakan ketidaknyamanan posisi mereka sebagai elit agama. Mereka takut kehilangan simpati publik. Mereka takut pamor atau citra diri mereka menjadi runtuh. Dan segala kemudahan atau kenikmatan yang telah diperoleh selama ini akan lenyap. Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah mencari kesalahan Yesus supaya Ia dapat dijegal.

Mungkin sebagai orang beriman, pertama-tama, kita seringkali menampilkan sikap ragu-ragu dan tidak percaya kepada Tuhan. Kita gampang menyerah manakala menghadapi setiap tantangan dan cobaan dalam hidup. Kita gampang menjadi lemah dan putus asa. Dalam situasi demikian, seringkali kita mempertanyakan kemahakuasaan Tuhan. Kita mulai ragu-ragu dan bahkan tidak percaya dengan Tuhan. Kedua, karena tidak percaya dengan Tuhan maka kita juga gagal menunjukkan diri kita sebagai tanda dari-Nya. Kita masih sibuk dan suka melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Sama seperti orang Farisi, kita gampang menaruh sikap curiga, prasangka, sentimen, atau iri hati kepada sesama.


    Hari ini kita belajar untuk semakin percaya kepada Tuhan. Secara kasat mata kita tidak melihat Diri-Nya. Tetapi kita sungguh yakin bahwa dalam setiap tantangan dan kesulitan yang kita hadapi, Tuhan sementara menyatakan tanda kehadiran Diri-Nya. Dan ini butuh keterbukaan iman untuk menerima dan menjawabi wahyu Tuhan yang hadir dalam pengalaman-pengalaman demikian. Tuhan tidak pernah menyakiti atau membinasakan manusia ciptaan-Nya sendiri. Namun adakalanya Tuhan membutuhkan pengalaman sakit, derita, dan keterpurukan untuk menggembleng manusia menjadi pribadi yang kuat dan matang dalam hidupnya. Semoga dengan menyadari hal demikian, kita semakin memperbaiki diri untuk menjadi tanda yang baik bagi Dia yang kita imani. Menjadi tanda yang baik tidak perlu hal yang muluk-muluk atau luar biasa. Dengan hal-hal sederhana yang membawa kebaikan, penghiburan, kekuatan dan keselamatan bagi orang lain, sebenarnya kita sudah menjadi tanda yang baik Tuhan.


Membersihkan Roh Jahat Di Dalam Diri

 

Mrk 5:1-20

 

Mungkin anda pernah mendengar atau membaca sebuah istilah yang bernama eksorsisme. Eksorsisme adalah sebuah praktik untuk mengusir setan atau makhluk halus (roh) jahat dari seseorang atau suatu tempat yang dipercaya sudah dimasuki atau dirasuki setan. Orang yang melakukan eksorsisme dikenal dengan sebutan eksorsis. Seorang eksorsis bisa berasal dari kalangan apa saja. Entah rohaniwan, biarawan-biarawati atau pun awam. Eksorsis bisa menggunakan media doa dan hal-hal religius lainnnya seperti mantra, gerak-gerik, simbol, gambar atau patung orang suci, jimat, dan lain-lain. Seorang eksorsis seringkali memohon bantuan Tuhan atau beberapa malaikat dan malaikat agung untuk ikut campur di dalam eksorsisme.

 

Praktis eksorsisme ternyata sudah sangat tua dan berlaku di banyak negara. Sejak zaman Yesus, praktek eksorsisme sudah dikenal. Bahkan Yesus sendiri menggunakan eksorsisme sebagai salah satu media untuk menegaskan eksistensi Diri-Nya. Bagi Yesus, eksorsisme tidak sekedar memberi keselamatan bagi si sakit. Ekorsisme adalah sarana pewartaan warta Kerajaan Allah yang dikumandangkan oleh Yesus sendiri. Melalui eksorsisme, Yesus merepresentasikan kekuatan Allah yang sungguh dasyat. Melampaui segala kekuatan dunia dan setan. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa Yesus adalah seorang eksorsis agung. Karena Yesus memiliki kekuatan ilahi untuk mengusir roh jahat atau setan yang merasuki pribadi seseorang.

 

Seperti dalam bacaan Injil pada hari ini (Mrk5:1-20), diperlihatkan kepada kita sebuah kisah penyembuhan seseorang yang kerasukan roh jahat di daerah Gerasa. Roh jahat itu rupanya sudah mengenal siapa Yesus. Ia kelihatan takut ketika melihat kedatangan Yesus. Ia merasa hidup dan kekuasaannya akan segera berakhir di daerah Gerasa. Oleh karena itu, dengan sangat ia meminta bantuan Yesus supaya dipindahkan ke dalam kawanan babi yang ada di sekitar daerah itu. Yesus pun mengabulkan permintaan roh jahat yang bernama Legion. Ia mengeluarkan roh jahat dari si sakit dan memindahkan roh jahat itu ke dalam babi-babi, sehingga menyebabkan kawanan babi itu terjun ke dalam danau.

 

Praktek eksorsisme atau pengusiran roh jahat ternyata masih berlaku hingga saat ini. Kalau kita perhatikan, memang ada segelintir orang yang memiliki karunia atau karisma khusus untuk melakukan praktek eksorsisme. Mereka biasanya menggunakan media doa, dan barang-barang rohani seperti salib, patung, Rosario, gambar-gambar kudus dan sebagainya. Dan banyak orang zaman ini yang masih kuat menggunakan jasa seorang eksorsis untuk menyembuhkan anggota keluarga atau kenalannya yang kerasukan roh jahat. Tidak jarang kita mendengar atau menyaksikan praktek-praktek eksorsisme yang terjadi di sekitar kita. Banyak hal di luar logika yang kita temui di sana. Namun yang pasti bahwa orang dituntut untuk memiliki kepercayaan agar proses eksorsisme itu bisa terlaksana dengan baik dan sukses.

 

Selain roh jahat yang datang dari luar dan menyusup masuk dalam jiwa seseorang, ternyata roh jahat itu juga bisa diciptakan oleh manusia sendiri di dalam dirinya. Ketika mendengar nama Yesus, orang menjadi alergi. Orang tidak mau mendengar dan mempercakapkan sosok yang bernama Yesus. Fatalnya, banyak orang Kristen yang hidupnya sudah mulai menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Kristen. Seperti orang Gerasa yang menolak kehadiran Yesus di daerahnya, banyak orang Kristen juga memiliki tendensi untuk bertindak demikian. Mereka seringkali menolak kehadiran Yesus baik di dalam hati maupun secara terang benderang lewat kata-kata dan perbuatan. Mereka lebih sibuk mempraktekkan urusan duniawi dan mengabaikan nilai-nilai yang termaktub dalam ajaran kristiani.

 

Fenomena orang-orang Kristen yang tidak tertarik lagi ke gereja pada hari Minggu menjadi pemandangan biasa yang sering kita amati. Dengan getol dan berapi-api mereka mencari pendasaran untuk membela diri. Mereka mengatakan bahwa cukup saja menjadi orang baik. Namun apakah menjadi orang Kristen itu cukup dengan hanya berbuat baik? Saya kira tidak demikian. Spirit akan Tuhan Yesus perlu ditimba dan dikuatkan dalam diri. Salah satunya dengan menghadiri perayaan ekaristi untuk menghormati dan menyambut Tubuh Tuhan dalam rupa roti.

 

Fenomena lain yang kita temui adalah kecenderungan orang Kristen untuk menghabiskan kekayaannya demi perilaku hedonisme yakni pesta pora. Tentu saja orang akan berdalih bahwa uang itu milik pribadi. Dan menjadi wilayah privasi yang tidak bisa diganggu gugat. Kita sepakat dengan hal itu. Namun menjadi hal yang miris adalah ketika orang menjadikan hidup hedonis menjadi fokus dan lokus dalam hidupnya. Imbasnya, orang tidak lagi memiliki kepekaan untuk menunjukkan keprihatinan dan perhatian sosialnya. Orang menjadi apatis (cuek), egois (merasa lebih unggul), dan permisif (tidak mau tahu) dengan ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi di sekitarnya.

 

Dan masih banyak hal lain yang bisa menjadi refleksi bagi diri sendiri. Bahwa roh jahat itu bisa bertransformasi dalam rupa apa pun. Tidak hanya dalam rupa yang jelek dan tidak menarik. Dalam rupa yang paling manis dan mengenakan pun, roh jahat bisa bercokol di dalamnya. Mari kita membersihkan segala jenis roh jahat yang masih bersemayam di dalam diri kita, agar tubuh kita menjadi pantas menjadi Bait Allah, tempat kediaman Allah sendiri