Mrk 7:14-23
Pernah
suatu saat, saya diberi beberapa buah mangga yang hampir masak. Dari kulit luar
tampak warna merah kekuning-kuningan. Saya sangat yakin buah ini sangat gurih
dan nikmat. Ketika sampai di rumah, saya buru-buru mengupas buah mangga itu.
Tanpa berpikir panjang saya langsung melahap satu irisan yang cukup besar. Tak
disangka, rasanya sangat asam. Gigi saya terasa ngilu, rasanya mau copot;
akibat efek dari buah mangga yang asam. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, ini
buah makan jenis apa. Dari kulit luar kelihatan sangat menarik. Tetapi isi
dalamnya, sangat mengecewakan. Ternyata setelah saya mendengar informasi dari
orang yang cukup ahli dalam dunia buah-buahan, memang ada jenis mangga tertentu
yang tampak sudah masak dari kulit luar. Padahal sebenarnya, isinya belum
masak. Butuh waktu yang cukup agar buah mangga itu benar-benar masak saat
dipetik dari pohonnya.
Ilustrasi
sederhana tentang buah mangga di atas, mengingatkan saya akan teks Injil pada
hari ini (Mrk 7:14-23). Yesus mengkritik perilaku orang-orang, terutama para
elit agama, yang memainkan kesalehen palsu dalam hidup. Dari tampang kelihatan
kudus, tetapi hati mereka penuh kebusukan. Mereka sangat mengutamakan hal-hal
lahiriah seperti kewajiban melakukan ritus dan tradisi serta menjauhi segala larangan
atau pantangan. Misalnya kewajiban untuk menaati prosedur ketika hendak makan.
Atau sampai kepada larangan untuk makan makanan tertentu yang najis (tidak
halal). Namun mereka tidak memiliki hati yang bersih untuk sungguh-sungguh
melaksanakan kehendak Allah. Secara fisik, kelihatan mereka sangat dekat dengan
Allah, padahal hati mereka sangat jauh dari Allah.
Yesus
sebenarnya tidak mempermasahkan segala aturan yang berkaitan dengan kewajiban
dan larangan dalam agama. Kewajiban dan larangan yang tertulis dalam Kitab Suci
dan tradisi itu baik adanya. Kehadiran dan pemberlakuannya sebagai sarana untuk
mendekatkan relasi antara manusia dengan Tuhan. Namun, fakta yang terjadi
sangat kontras. Orang-orang, terkhusus para elit agama kala itu, gagal menimba
spirit yang paling fundamental dari segala aturan dan tradisi tersebut.
Pelaksanaan kewajiban dan larangan dalam agama harus diseimbangkan dengan
implementasi nilai-nilai kemanusiaan yang memanusiakan manusia. Nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran yang muncul dari dalam hati, itulah yang harus
diperjuangkan dan dimenangkan dalam hidup. Bukan fokus pada pelaksanaan segala
aturan dan kewajiban agama semata.
Secara
eksplisit Yesus mengatakan: “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang,
tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang
menajiskannya” (Mr 7:14). Sekilas kita memahami bahwa Yesus melegalkan segala
jenis makanan yang dimakan oleh umat saat itu. Namun pada prinsipnya, Yesus
tidak melarang hal itu. Hukum, aturan, dan tradisi tetap berjalan sesuai dengan
porsinya. Dan orang-orang wajib untuk menaatinya. Yang menjadi problem nyata
adalah membiasnya sikap palsu dalam hidup keagamaan. Karena dari dalam hati
tetap timbul hal-hal yang destruktif. Kitab suci mencatat, hal-hal yang
destruktif terekspose dalam pikiran yang jahat, percabulan, pencurian,
pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri
hati, hujat, kesombongan, dan kekebalan.
Menurut
Yesus, sejatinya hal-hal destruktif demikian yang seharusnya dikategorikan ke
dalam sikap dan perbuatan yang najis. Karena tanpa atau dengan sengaja,
orang-orang telah membiarkan dirinya untuk berseberangan dengan kehendak Allah
sendiri. Dengan kata lain, orang-orang telah menajiskan dirinya dengan
perbuatan yang tidak benar di hadapan Allah. Jikalau benar orang-orang telah
mencemarkan atau menajiskan dirinya dengan hal-hal yang tidak baik dan benar,
apa untungnya mereka mengikuti bahkan turut mengkampanyekan ritus-ritus
lahiriah yang tertulis rapih dalam kitab suci dan tradisi suci? Tidak
mengherankan, mereka ingin mencari keuntungan, entah secara pribadi atau
kelompok. Mereka ingin dilabeli sebagal orang-orang suci. Mereka ingin
mendapatkan keuntungan secara sosial dan politik. Bahkan juga mendapat
keuntungan secara ekonomi. Kalkulasinya jelas. Mereka akan mendapat simpati
publik, disegani, dihormati, diberi kekayaan, dan prestise atau pamor diri di
muka publik akan terdongrak.
Hari ini, kita
semua diingatkan oleh Yesus akan dua hal. Pertama, penting bagi kita semua
untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan pada ritus dan tradisi keagamaan di
satu sisi, dan ketaatan untuk mengamalkan kasih dan kebenaran Allah di lain
pihak. Sebagai orang Katolik, kita tetap memenuhi kewajiban agama untuk pergi
ke gereja pada hari Minggu, berdoa secara pribadi di rumah, atau berdoa secara
kolektif di KBG atau lingkungan.