Selasa, 20 Juli 2021

Tanah Yang Baik Dan Penabur Yang Handal

Mat 13:1-9

 

Melihat fenomena para artis dan figur publik yang terseret dalam sebuah masalah, memiliki atensi tersendiri. Karena pertama, eksistensi para artis atau figur publik sudah menjadi pusat perhatian banyak orang. Mereka disukai, disenangi, dicintai dan diidolakan dalam hidup. Kedua, publik sudah terlanjur memberi level tinggi tentang status dan jati diri mereka. Oleh karena itu, kehadiran mereka di muka publik diharapkan tidak sekedar menjadi orang yang biasa-biasa saja, apalagi menjadi orang di bawah level itu. Pasti sangat tidak diharapkan oleh masyarakat umum. Para artis dan figur publik semacam sudah diberi pola sempurna untuk menjadi model hidup yang baik bagi banyak orang. Mereka diharapkan menjadi teladan dari sikap dan karekter pribadi yang ditampilkan. Maka ketika mereka terjerat dalam kasus tertentu, seperti narkoba yang terjadi belakangan ini, tentu menjadi keprihatinan bagi publik yang menyaksikan.

Menarik menyimak postingan sebuah akun di media facebook yang melitanikan kehidupan seorang artis atau figur publik dalam nada satir atau sindiran. Dia menulis begini: “Mereka (para artis dan figur publik) mengaku stress padahal duitnya banyak. Asetnya dimana-mana, rumahnya mewah, gede pula. Fasilitas lengkap, mau renang tinggal nyebur. Melek mata makanan sudah siap di atas meja. Mobil mewah digarasi, berjejer tinggal pilih. Tidak kepanasan, ada AC 24 jam nonstop. Pingin mandi air hangat ada water heater alias pemanas air. Pingin beli apa saja bisa. Pembantu ada, koki ada, security ada. TV setiap kamar dan ruangan, saluran internasional lagi. Internet sepuasnya. Mau belanja tinggal gesek dan pencet. Jika kita pikir kurang apa??? Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bahagia. Namun buktinya mereka masih merasa stress. Inilah pelajaran bagi kita semua bahwa memiliki segala kemewahan dan gemerlap dunia tidak menjamin seseorang bahagia. Karena kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai apabila hidup dekat dengan Allah”.

Saya kira, tidak hanya para figur publik. Manusia dari berbagai segmen dan latar kehidupan, memiliki potensi dan kecenderungan yang sama untuk jatuh dalam kasus atau masalah tertentu. Satu potret kehidupan ironis para artis yang digambarkan di atas, mau memberi pesan bahwa hidup glamour dan bergelimang harta duniawi menjadi salah satu dari sekian tantangan yang bisa menjauhkan seseorang dari hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Harta atau materi duniawi memang penting untuk menunjang kehidupan seseorang. Akan tetapi, memprioritaskan hidup pada materi atau harta tentu tidak bisa dibenarkan. Pasti ada banyak nilai atau keutamaan dalam kehidupan yang dikorbankan. Yang lebih utama, manusia tidak memiliki kedekatan dengan Tuhan. Manusia tidak merasa penting untuk membangun komunikasi atau hubungan dengan pencipta-Nya. Tuhan tidak menjadi tujuan utama, karena sudah digantikan oleh tujuan lain yang lebih memberi kepuasan dan kenikmatan duniawi. Implikasi logis yang muncul, manusia akan melakukan tindakan atau perbuatan yang berlawanan dengan kehendak Allah.

Dalam perumpamaan tentang seorang penabur, Yesus mempresentasikan sekian tantangan atau hambatan yang membuat hidup manusia jauh dari Allah. Tantangan atau hambatan itu diibaratkan oleh Yesus dengan benih yang jatuh di tiga zona yang berbeda. Pertama, benih yang jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Kedua, benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya. Benih itu sempat tumbuh, tetapi sesudah matahari terbit, ia menjadi layu dan mati karena tidak memiliki akar yang kokoh. Ketiga, benih yang jatuh di tengah semak duri. Kemudian makin besarlah semak dan menghimpit benih itu sampai mati. Benih itu sebenarnya sabda Allah yang sementara ditaburkan kepada umat manusia. Dan penaburnya adalah Allah sendiri. Sabda Allah yang ditanam memang sudah masuk dalam diri manusia. Namun, ada tantangan-tantangan yang menghalangi pertumbuhan dan perkembangan sabda Allah dalam diri manusia.

Pertama, tantangan materialisme. Orang lebih mengutamakan hidupnya untuk mencari dan menumpuk materi atau barang duniawi. Kedua, tantangan hedonisme. Orang lebih suka atau senang hidup dalam kesenangan dan kenikmatan. Ketiga, tantangan konsumerisme. Budaya konsumtif atau menghabiskan segala sesuatu yang dimiliki demi memuaskan kesenangan dan kenikmatan diri. Keempat, tantangan rasionalisme. Orang sangat gampang menggunakan akal atau rasionya untuk mempertanyakan eksistensi Tuhan. Buntutnya, timbul sikap pesimis dan skeptis tentang keberadaan dan intervensi Allah dalam hidup manusia. Tantangan-tantangan ini secara tersirat dikemukakan oleh Yesus di hadapan banyak orang yang mengerumuni diri-Nya. Banyak orang yang terpesona dan antusias kepada diri-Nya. Tetapi itu tidak bertahan lama. Dinamika hidup dengan aneka pikiran dan tawaran yang menggiurkan perlahan namun pasti membuyarkan sabda Allah dalam diri manusia.

Tetapi Yesus tidak berkecil hati. Karena ada sebagian orang yang sungguh-sungguh percaya dan mengikuti sabda Allah. Sikap batin yang mereka miliki ibarat tanah yang subur. Tanah subur adalah tanah yang baik sebagai media tumbuhkembang benih. Benih itu akan tumbuh dan berkembang menghasilkan buah yang banyak. Orang-orang yang mendengarkan sabda Allah, sungguh menghayati dan meresapi sabda Allah itu di dalam hatinya. Mereka mau memperbaiki diri dan memiliki komitmen yang kuat untuk terus mengarahkan hidupnya pada kehendak Allah. Seiring dengan itu, tentu tidak sedikit tantangan yang datang untuk mempengaruhi mereka meninggalkan jalan Tuhan. Berkat keteguhan dan kegigihan iman kepada Tuhan, mereka dapat bertahan. Bahkan, mereka juga menjadi alat Tuhan untuk pergi menaburkan benih sabda Allah kepada sesamanya yang lain.

Hari ini Yesus memberi pengajaran agar kita dapat menjadi tanah yang baik dan penabur yang handal dalam menumbuhkembangkan warta kasih Allah di tengah dunia. Tidak gampang memang menjadi murid Yesus di zaman ini. Kita dihadapkan dengan aneka tantangan yang bisa menggoyahkan dan menghancurkan iman kita kepada-Nya. Kuncinya adalah kita tetap membangun hubungan yang akrab dalam doa-doa dan percakapan rohani kita dengan Tuhan. Hanya dengan demikian, kita akan dikuatkan dan diteguhkan untuk bertahan dalam iman kepada-Nya. Kita juga dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain dengan memberi kesaksian yang baik dalam hidup, tugas, dan karya kita. Semoga. ***AKD***

Rabu, 14 Juli 2021

Tentang Setia Di Rumah dan 6M

Mat 10:34-11:1

 

Baiklah kita menyimak sebuah pesan bijak dari Paus Fransiskus tentang bagaimana orang-orang harus tinggal di rumah dalam masa pandemi Covid-19. Sang paus berkata: “Saya tidak menganggap bahwa situasi yang mengharuskan kita tinggal di rumah bersama orang-orang yang kita kasihi dapat disebut isolasi. Isolasi adalah hal yang dialami oleh orang-orang yang benar-benar sakit. Hentikanlah berkata bahwa anda bosan, kesal, karena kalian tidak bisa meninggalkan rumah. Sementara orang-orang di rumah sakit ingin pulang ke rumah mereka. Jadi, berterimakasihlah kepada Tuhan kalau anda harus tinggal di rumah, karena setelah semua yang terjadi, dengan atau tanpa uang, dengan atau tanpa pekerjaan. Anda berada di tempat terbaik dimana anda bisa berada, di rumah, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaimu. Mungkin ini adalah waktunya untuk mengubah rumahmu menjadi tempat yang indah untuk ditinggali, sebuah tempat kedamaian dan kehangatan. Rawatlah dirimu. Jadikanlah rumahmu, keluargamu, tempat yang penuh kasih”.

 

Menurut para ahli kesehatan, faktor utama yang memicu peningkatan jumlah kasus Covid-19 adalah ketidaktaatan orang pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Protokol kesehatan yang dimaksud tersebut dikenal dengan 5M. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas atau pergerakan di luar rumah. Kalau semua orang taat dengan aturan tersebut, dapat dipastikan bahwa badai pandemi Covid-19 akan segera terminimalisir atau hilang dari negara dan wilayah kita.

 

Namun realitas yang terjadi adalah sebaliknya. Orang-orang menjalani kehidupannya tidak sesuai dengan aturan dan harapan dari semua pemangku kepentingan. Berbagai himbauan baik lisan atau pun tulisan memang didengar dan dibaca oleh manusia. Tetapi masih jauh panggang dari api di tingkat implementasinya. Masih banyak orang yang melanggar baik secara sadar atau tidak. Ada beberapa alasan mengapa protokol kesehatan ini menjadi hal yang sulit untuk dilaksanakan. Pertama, kita belum terbiasa dengan cara atau pola hidup yang baru. Kedua, mentalitas kita yang apatis dan lebih mementingkan ego pribadi atau kelompok. Ketiga, ciri budaya atau tradisi kita adalah keterbukaan. Tidak ekslusif. Kita lebih suka berkumpul bersama-sama orang lain. Tidak hanya dalam suatu urusan yang penting, bahkan dalam urusan yang remeh temeh sekali pun, tradisi berkumpul telah menjadi bagian yang sudah mendarah daging dan susah untuk dihilangkan. Keempat, kita gampang merasa bosan dan putus asa dengan problem hidup yang terus mendera. Terutama deraan badai Covid-19 yang terus terjadi dan kita tidak pernah tahu sampai kapan akan berakhir.

 

Faktor-faktor ini yang menjadi batu sandungan, mengapa badai Covid-19 seakan menjadi sahabat sejati yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh manusia. Manusia boleh saja tidak menghendaki kehadirannya, namun perbuatan manusia sendiri secara tidak langsung membuka “kran” kehadirannya di tengah dunia. Dengan tidak menaati prokes yang sudah digariskan, kita terus menciptakan kondisi yang nyaman bagi Covid-19 untuk tetap bersarang dalam kehidupan. Banyak yang sakit, banyak yang telah meninggal karena badai virus ini. Kita pun mungkin tidak luput dari terpaan badai ini. Berungtung kita masih diberi kehidupan dan keselamatan. Tetapi, banyak dari sesama, keluarga, sahabat, dan kenalan yang terpaksa harus pergi meninggalkan kita karena serangan virus ini. Seharusnya fakta memilukan ini menjadi refleksi yang kuat dalam perjalanan hidup bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk hidup. 

 

Kata-kata dari Paus Fransiskus sungguh mengugah sekaligus menggugat nurani kita. Sudah saatnya kita menjadikan rumah kita sendiri sebagai tempat yang paling nyaman dan indah dalam kehidupan. Dengan berada di rumah, kita tidak hanya memenuhi unsur prokes dan memotong laju kembang Covid-19. Dengan setia berada di rumah, kita pun akan menggali dan menemukan banyak nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Ada nilai persaudaraan, kasih, dan semangat pelayanan yang tercipta dan terpatri di sana. Badai Covid-19, memberi ruang yang dalam dan luas bagi kita untuk semakin menguatkan kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual jika kita tetap setia berada di rumah. Kita dilatih untuk mengurangi interaksi atau mobilitas di luar rumah yang rentan dengan tertularnya Covid-19. Kita dididik untuk bersikap sabar dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi problem dan akibat lanjut yang ditimbulkan dari badai Covid-19. Kita dilatih untuk mengembangkan semangat cinta, kasih dan perhatian dalam komunitas sosial terkecil yakni keluarga. Dan tidak lupa, kita turut meningkatkan semangat iman karena kita memiliki banyak waktu untuk membangun relasi personal dengan-Nya.

 

Kata-kata Yesus: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:38), menjadi kata-kata sakti agar kita perlu menambah satu unsur prokes lagi dalam 5M untuk memerangi badai Covid-19 di tengah dunia. Jadi dari 5M akan bertambah menjadi 6M. Huruf M keenam yang dimaksud adalah mendekatkan diri dengan Tuhan. Setia berada di rumah, semakin memacu kita untuk setia juga membangun relasi personal dengan Tuhan. Kita mendekatkan diri dengan Tuhan agar Ia dapat menunjukkan intervensinya menghilangkan badai Covid-19 dan hidup kita pun menjadi aman dan selamat. Menaati prokes adalah bagian tak terpisahkan dari hidup iman kita kepada Tuhan. Kita perlu menyalibkan kebiasaan, kegemaran, kesukaan, kesenangan, dan kenikmatan dalam hidup demi sebuah garansi kehidupan yang dapat membawa kebaikan dan keselamatan bagi diri sendiri dan orang lain. Mari kita setia berada di rumah dan tidak lupa menerapkan 6M dalam kehidupan kita. Amin. ***AKD***