Minggu, 28 Februari 2021

PERCAYA DENGAN TANDA TUHAN

 

Mrk 11: 29-32

Sebagai makhluk ciptaan yang paling sempuna, manusia memiliki akal untuk berpikir, kehendak untuk bertindak dan suara hati untuk merasakan segala sesuatu yang ada. Entah yang berada di dalam diri, maupun yang berada di luar dirinya. Ketiga komponen dasar itu memainkan peran untuk membaca pelbagai tanda dalam kehidupannya. Tanda-tanda itu bisa muncul dari alam, dari hubungan atau relasi antara manusia, dan dari pergulatan hidup yang dialami seorang manusia atau segala peristiwa hidup apa saja yang digumulinya.

 

Tanda itu memberi petunjuk akan sesuatu hal atau peristiwa. Tanda itu bisa berwujud positif dan negatif. Ketika seorang petani melihat mendung hitam di langit, dia akan bersukacita karena akan segera turun hujan menyirami tanaman di ladangnya. Atau dalam kepercayaan masyarakat tertentu yang mempercayai hal buruk yang terjadi melalui sebuah tanda yang sepele. Misalnya ada piring, gelas, atau barang lainnya, yang tiba-tiba pecah tanpa sedikit pun disentuh oleh manusia atau disebabkan oleh sesuatu yang lain. Tanda dalam kehidupan manusia menjadi penting sebagai sebuah awasan, peringatan atau pedoman bagi manusia untuk tetap eksis melanjutkan kehidupannya di dunia

 

Tanda menjadi sesuatu yang urgen juga bagi orang-orang Yahudi terutama para elit agama melalui bacaan Injil pada hari ini (Mrk 11:29-32). Mereka meminta sebuah tanda dari Yesus yang sungguh memberi bukti atas segala kuasa dan perbuatan ajaib yang Ia lakukan. Yesus telah banyak bersabda dengan kata-kata yang indah dan penuh daya untuk menyentuh hati banyak orang. Ia memiliki kuasa untuk mengampuni orang berdosa dan membuat mereka percaya kepada Allah. Ia juga banyak melakukan mukjizat untuk menyembuhkan orang sakit dan orang yang kerasukan setan. Yesus juga menggandakan makanan untuk memberi makan banyak orang. Bahkan, Yesus juga membangkitkan orang yang telah mati.

 

Segala peristiwa dan pengalaman tentang Yesus ini yang menjadi bahan perbincangan sekaligus pergunjingan di antara umat Israel. Semua orang dibuat heran, kagum, dan penasaran. Buah dari kekaguman itu menghasilkan pertobatan di antara umat Israel. Tetapi masih juga ada yang tidak percaya. Seperti yang terjadi di kalangan para pemimpin agama Yahudi. Terlihat bahwa mereka juga merasa heran dan kagum akan sosok Yesus dan segala perbuatan-Nya yang ajaib. Namun ada sesuatu yang menutup pikiran dan hati sehingga membuat mereka tidak percaya kepada Yesus. Mereka berusaha mencari-cari alasan dengan meminta sebuah tanda dari Yesus. Padahal, Yesus dan segala karya-Nya sudah merupakan sebuah tanda agung yang mempresentasikan kehadiran Allah sendiri di muka bumi.

 

Para pemimpin agama Yahudi tidak mampu membaca tanda dalam diri Yesus karena pribadi mereka telah digerogoti oleh sikap sombong dan iri hati. Mereka merasa diri paling hebat dan paling pintar. Tidak ada yang boleh menyaingi kepintaran mereka. Jika pun ada, tentu saja mereka tidak akan mau menerima dan mengakui. Seperti yang mereka perbuat terhadap Yesus. Mereka menaruh sikap iri dan dengki karena tidak memiliki kharisma seperti yang dimiliki oleh Yesus. Kharisma Yesus itu nampak dari kata-kata penuh kuasa dan segala tindakan mukjizat yang menyelamatkan banyak orang. Apalagi gerakan Yesus ini sudah viral, menyebar ke mana-mana dan membawa simpati publik. Hal ini yang menjadi ketakukan tersendiri bagi para pemimpin Yahudi. Karena mereka akan kehilangan pamor dan bisa terjadi mosi tidak percaya dari umat terhadap para pemimpin agamanya sendiri.

 

Yesus sungguh merasa heran akan sikap keras hati dan kedegilan pikiran dari para pemimpin agama Yahudi. Bagaimana mungkin mereka yang mengklaim diri sebagai umat pilihan Allah, justru tidak menunjukkan jati diri yang selaras dengan status sebagai bangsa pilihan Allah. Yesus yang sudah terang benderang menjadi tanda agung dari Allah, tidak mampu dideteksi oleh umat yang mengaku sebagai umat pilihan. Ini sungguh tidak masuk di akal. Yesus kemudian membandingkan perilaku mereka dengan orang Niniwe yang bertobat dan percaya karena melihat tanda Allah dalam diri nabi Yunus. Padahal orang Niniwe merupakan bangsa kafir yang tidak percaya kepada Allah. Lalu Yesus mengatakan bahwa pada hari penghakiman, orang-orang kafir yang telah percaya kepada Allah akan bangkit dan memberi hukuman kepada bangsa pilihan Allah yang justru tidak menunjukkan kepercayaannya kepada Allah.

 

Dalam kehidupan ini, sebenarnya ada banyak tanda yang menyatakan bahwa Tuhan sungguh hadir walaupun kita tidak melihat-Nya secara kasat mata. Melihat pemandangan alam semesta yang indah, kita tidak ragu-ragu lagi untuk percaya kepada-Nya. Atau dalam setiap peristiwa hidup yang kita alami bersama orang lain. Kita memiliki orang tua yang penuh cinta, para sahabat sejati, rekan kerja yang handal, dan orang-orang yang mendukung hidup dan perjuangan kita. Bukankah itu memberi tanda bahwa Allah sungguh hadir.

 

Dalam setiap pergulatan atau pergumulan hidup yang kita alami secara personal, ada banyak tanda yang mengintervensi kehadiran Tuhan di sana. Misalnya, ketika kita mengalami keberhasilan atau kesuksesan akan sesuatu hal. Kita mendapat jodoh hidup yang baik, kita memperoleh pekerjaan yang baik, anak-anak kita yang berhasil dalam pendidikan, dan sebagainya. Tanda kehadiran Tuhan juga terbaca lewat cara lain. Kita bisa keluar dari tantangan atau beban berat yang kita hadapi dalam keluarga, di lingkungan atau di tempat kerja. Kita menjadi lebih sabar dan kuat. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi aneka persoalan hidup. Kita lebih mudah mengampuni orang lain. Kita mau berkorban dan berjuang demi orang lain. Dan masih banyak lagi peristiwa atau pengalaman yang memberi tanda kehadiran Tuhan di dalam setiap napas kehidupan kita.

 

Kini kita telah memasuki masa prapaskah pekan pertama. Semoga melalui refleksi ini, kita semakin percaya kepada Tuhan melalui setiap tanda yang hadir dalam kehidupan. Kita semakin membuka diri terhadap Tuhan akan segala pesan yang Ia nyatakan melalui berbagai pengalaman dan peristiwa hidup yang kita alami. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Rabu, 10 Februari 2021

MENJAGA KEHALALAN DIRI

Mrk 7: 14-23

Saya kira beberapa istilah yang sangat kental dengan kelompok agama tertentu seperti haram, halal, dan najis sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ada kelompok agama tertentu yang sangat ketat mewajibkan anggota jemaatnya untuk mengikuti dan melaksanakan segala aturan yang berkaitan dengan tiga istilah di atas. Haram, halal, dan najis yang dikedepankan dalam hal ini cenderung segala sesuatu yang bersifat materi (jasmaniah). Lebih tepatnya pada tataran makanan dan minuman. Ada makanan dan minuman tertentu yang masuk kategori haram dan najis. Dan ini tidak boleh dikonsumsi. Barangsiapa entah sengaja atau pun tidak sengaja, melanggarnya, artinya ia sudah melakukan perbuatan dosa bagi dirinya. Di samping itu ada kategori makanan dan minuman yang bisa atau layak dikonsumsi. Makanan dan minuman ini yang masuk dalam kategori halal.

 

Saya yakin bahwa pada prinsipnya semua aturan keagamaan itu baik adanya. Aturan itu dibuat dengan tujuan mulia untuk semakin mendekatkan umat manusia dengan penciptanya. Pada area makan dan minum, tentu ada yang boleh dan tidak. Namun di atas semuanya, yang mau ditekankan dalam aturan keagamaan adalah pada soal bagaimana manusia bisa menjaga kemurnian hatinya agar tetap layak dan pantas di mata Tuhan. Inilah esensi sebenarnya dari kata haram, najis dan halal. Manusia harus menjaga tutur kata dan perbuatannya agar tidak menjadi haram dan najis. Yang dituntut dalam hal ini adalah kehalalan dalam setiap ucapan dan tindakan manusia. kehalalan yang dibuktikan dengan segala ucapan dan perbuatan yang baik. Bukan dengan ucapan dan perbuatan jahat yang menggiring jati diri manusia menjadi makhluk najis dan haram.

 

Ada yang menarik dalam bacaan Injil (Mrk 7:14-23) pada hari ini. Secara terbuka Yesus mengatakan kepada orang banyak bahwa apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya. Secara satir, Yesus menyindir sikap dan perilaku orang Yahudi yang sangat mementingkan aturan dan tradisi dalam agamanya, tetapi hati mereka sangat jauh dari Allah. Orang Yahudi, terutama para pemimpinnya kala itu, sangat getol meneriakan dan mewajibkan semua penganut agama Yahudi untuk sungguh-sungguh menaati segala aturan dan tradisi yang berlaku. Kita bisa mengecek beberapa aturan dan tradisi yang tertulis pada beberapa ayat Kitab Suci sebelumya. Misalnya kalau mau makan harus dengan tangan yang sudah dibasuh terlebih dahulu. Atau setelah pulang dari pasar orang tidak dapat makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya terlebih dahulu (Mrk 7:3-4). Dan berbagai aturan dan tradisi lain yang sangat detil diuraikan serta wajib dilaksanakan tanpa kecuali.

 

Yesus sebenarnya tidak menolak segala aturan dan tradisi yang berlaku dalam agamanya. Malahan Yesus sangat mendukung semua itu. Yang dikecam Yesus adalah sikap dan perilaku orang Yahudi sendiri yang tidak menggambarkan eksistensi diri mereka sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Mereka begitu tunduk pada segala aturan dan tradisi keagamaan, tetapi dari dalam hati masih muncul sikap-sikap destruktif yang menjauhkan diri mereka dari Allah. Mereka masih setia untuk berkompromi dengan perilaku ketidakadilan, ketidakjujuran, fitnah, iri hati, dendam, amarah yang berlebihan, kesombongan, kelicikan, dan sebagainya. Para pemimpin Yahudi adalah para insan Tuhan yang sangat legal formal. Mereka lebih mementingkan tradisi dan aturan, daripada nilai kasih yang harus diaplikasikan kepada Tuhan dan sesama. Secara lahiriah, mereka tampak bersih dan halal dari luar. Namun di sisi dalamnya penuh kotoran dan ngengat. Hati mereka tidak sungguh-sungguh halal untuk dipersembahkan kepada Tuhan.

 

Dalam konteks kehidupan iman, manusia digambarkan sebagai makhluk paradoks. Di satu sisi manusia adalah makhluk ciptaan yang paling baik. Paling luhur. Karena ia diciptakan dari rupa dan gambar Allah sendiri. Namun di lain sisi, manusia memiliki kebebasan dan kehendak untuk memilih tindakannya. Manusia bisa memilih melakukan yang baik atau jahat. Dan di sinilah letak akar permasalahannya. Sejatinya, manusia yang terbentuk dari “elemen kudus Allah”, harus selalu dan tetap mengarahkan jati dirinya kepada Allah. Ia harus memilih Allah sebagai “pengantinnya” karena kebermulaannya berasal dari Allah. Ia harus menjaga tutur kata dan perbuatannya agar selalu halal di mata Tuhan. Sialnya, jamak terjadi tidak demikian. Saya dan anda sering terjebak untuk masuk dalam pusaran yang menjadikan pribadi kita tidak pantas di hadapan Tuhan. Kita lebih suka mendandani diri kita dengan cap najis dan haram. Secara fisik kita nampak bersih, cantik, ganteng, gagah, dan bonafid. Namun jauh di kedalaman hati, kita masih mempertontonkan sikap-sikap anti Tuhan. Kita masih mencintai diri kita yang penuh iri hati, penuh amarah, penuh kelicikan, penuh kesombongan, penuh kemunafikan, dan sikap-sikap negatif lainnya.

 

Hari ini, Tuhan datang menegur agar kita mau mengolah dan menjaga hati kita dengan baik. Hati itu kunci segalanya. Kalau hati kita baik maka kita menjadi orang baik. Sebaliknya hati kita jahat maka kita menjadi orang jahat. Sebagai manusia biasa, kita tidak luput dari segala kekeliruan, kesalahan dan dosa yang menyesatkan. Namun Tuhan itu mahabaik. Ia selalu menerima kita dengan kedua tangan-Nya. Berapa pun, sekian kali kita telah jatuh dan terperosok. Oleh karena itu sudah sepantasnya, kita menjaga kehalalan diri kita dengan menunjukkan tutur kata dan perilaku yang baik. Tidak hanya dengan berdoa dan memenuhi segala kewajiban agama. Yang lebih penting adalah kita mampu membawa nilai kasih di mana dan kapan saja kita berada. Tidak peduli siapa orangnya. Tentu kita tidak boleh memandang bulu. Kita harus memberikan pribadi kita sebagai harta kudus yang halal demi membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang.

 

Mari kita menjaga kehalalan diri kita masing-masing, baik di rumah, di lingkungan tempat tinggal, di tempat kerja, maupun di mana saja kita berada, agar kita semakin menjadi pribadi yang terarah kepada Tuhan dan bermartabat di mata sesama. Amin. ***Atanasius KD Labaona***