Senin, 15 Agustus 2022

Panggilan Untuk Melayani

  

Mat 20:20-28

 

Hari ini kita memperingati Santo Yakobus Rasul. Ia adalah salah satu dari kedua belas rasul Yesus. Orang tuanya bernama Zebedeus dan Salome. Ia memiliki seorang saudara bernama Yohanes; yang juga merupakan seorang murid Yesus. Kedua saudara ini dikenal sebagai anak-anak Zebedeus. Selain itu, Yakobus anak Zebedeus juga disebut sebagai Yakobus Tua atau Yakobus Besar untuk membedakannya dengan rasul lainnya yakni Yakobus anak Alfeus. Yakobus anak Alfeus adalah sepupu dekat dari Yesus. Nama lainnya Yakobus Muda atau Yakobus Kecil. Yakobus dan Yohanes anak-anak Zebedeus bersama Petrus menjadi tiga orang murid yang paling dekat dengan Yesus. Tentu tidak menafikan peran para murid yang lain. Namun dalam beberapa teks Kitab Suci yang kita baca, nama tiga orang rasul ini paling sering ditemukan. Yakobus Rasul diperkirakan meninggal sebagai martir pada tahun 44 M. Ia dieksekusi mati dengan pedang oleh Raja Herodes Agripa I (Kis 12:1-2). Mungkin banyak orang mengira Surat Yakobus yang terdapat dalam teks Perjanjian Baru ditulis oleh Yakobus bin Zebedeus. Namun menurut tradisi, Surat Yakobus ditulis oleh Yakobus bin Alfeus.

 

Esensi  kuasa dan jabatan ibarat gula yang senantiasa dikerubuti semut. Memang rasanya yang manis menjadi daya tarik bagi siapa saja. Tidak cukup hanya memandang. Banyak orang ingin mengecapi cita rasanya. Kemudian timbul niat untuk mengambil dan memilikinya. Demi memuaskan keinginan atau memenuhi kebutuhan dasar pribadi atau kelompok, Si gula telah menjadi magnet yang sangat menggiurkan. Seperti si gula, demikian juga tentang kuasa dan jabatan. Dua esensi tak berwujud ini ternyata juga sangat menggiurkan. Rasanya tidak hanya enak namun bisa memuaskan bagi siapa saja yang memilikinya. Tidak cukup hanya bermimpi, membayangkan, atau berimajinasi tentangnya. Banyak orang ingin mendekat, memegang, meraihnya dengan sigap, dan tidak akan melepaskannya lagi. Ia sungguh molek dan rupawan, bahk bidadari dari langit ketujuh. Tidak heran untuk mendapatkannya banyak cara ditempuh. Bahkan dengan menghalalkan segala cara. Entah dengan cara yang baik atau pun dengan cara yang sebaliknya; kasar dan gelap.

 

Tentang kuasa dan jabatan, ia memang sudah uzur (tua). Bisa jadi lebih tua dari Yesus. Magisnya telah menggoda dua orang murid dari anak-anak Zebedeus. Mereka adalah Yohanes dan Yakobus. Tidak tanggung-tanggung, ibu kandung mereka pun turut terlibat di dalamnya. Manuver cantik coba dimainkan. Bersama sang ibu mereka datang kepada Yesus untuk meminta kue yang bernama kuasa dan jabatan. Sang ibu sebagai juru bicara memang tidak secara kebetulan dipasang. Ia diseting sebagai pion karena memiliki keunggulan. Selain mungkin karena komunikasinya lebih luwes, kelembutan hatinya sebagai seorang ibu dan perempuan disinyalir bisa merontokan hati Sang Tuhan Yesus. Rasa pongah yang dibungkus dengan kerendahan hati palsu ternyata tidak bisa menembus hati seorang Yesus.

 

Karena Yesus sangat tahu, Orientasi mereka adalah soal keinginan duniawi. Dan sangat jauh dari tataran ilahi. Kuasa dan jabatan yang mau digapai oleh ibu Salome dan kedua anaknya (Yohanes dan Yakobus) sangat berkarakter duniawi. Sangat dangkal nilainya. Mereka ingin dikenal, diakui, dilayani dan memiliki banyak harta duniawi. Tentu tidak sejalan dengan visi dan misi yang dibawa oleh Yesus. Kuasa dan jabatan yang dimaksud oleh Yesus adalah esensi ilahi. Karena kuasa dan jabatan itu dianugerahkan sendiri oleh Allah, Sang Bapa. Tetapi tidak mudah bagi manusia untuk mendapatkannya. Dan tidak gampang pula untuk direalisasikan oleh setiap manusia. “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:26-27).

 

Kata-kata Yesus di atas secara implisit telah menggambarkan model kuasa dan jabatan yang dibawa oleh Yesus. Sangat bertentangan dengan kuasa dan jabatan yang bersifat duniawi. Sungguh tidak mengenakan dan mengandung risiko tinggi. Di dalamnya, kita memiliki kewajiban untuk melayani, dan bukan untuk dilayani. Kita seharusnya memberi dengan tulus, tetapi tidak mengharap pamrih atasnya. Harta duniawi memang penting, tetapi tidak menjadi fokus. Apalagi terus ditimbun di balik tembok egoisme. Harta sorgawilah yang senantiasa dicari dan ditimbun dalam bejana hati. Kita dengan tulus hati menghormati dan menghargai orang lain, namun tidak patut meminta penghormatan atau penghargaan dari mereka. Kemegahan diri tidak dicari di dalamnya, melainkan kerendahan hatilah yang terus dipupuk. Untuk semua kebajikan yang telah dilakukan ini, kita pun harus rela dibakar oleh sekian tantangan dan hambatan. “Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum” (Mat 20:22). Hinaan, cercaan, makian, dan penindasan tidak jarang menjadi menu makanan bagi setiap orang yang memiliki Kristus di dalam hatinya.

 

Di dalam kuasa dan jabatan ilahi inilah terselip esensi panggilan Tuhan. Panggilan untuk melayani, dan bukan sebaliknya dilayani. Sebagai orang Katolik, kita semua dibimbing dan diarahkan untuk memahami, menjiwai, dan menghidupi panggilan itu dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkup keluarga, masyarakat, komunitas atau pun di mana saja, hendaknya panggilan untuk melayani tetap kita wujudnyatakan. Rasul Yakobus anak Zebedeus telah memberi bukti. Bahkan dengan taruhan nyawanya, ia tetap giat, tulus, dan total menghidupi panggilan Tuhan untuk melayani semua orang. Mari kita sungguh menghayati spirit panggilan Tuhan untuk melayani dan bukan untuk dilayani. ***